Review Movie : Snowpiercer (2013)
"I
belong to the front, you belong to the tail."
Orang
kaya bertindak sebagai penguasa, sedangkan kaum miskin berperan sebagai
penderita. Kejam? Sebenarnya tidak, faktanya simbiosis tersebut kini tidak lagi
menjadi sesuatu yang aneh, perlahan tampak seperti sebuah trend bahkan
kewajiban yang berlaku pada banyak ekosistem masyarakat, karena kini melakukan
tindakan humanisme sudah jauh dari kesan membanggakan. Hal tersebut akan anda
temukan pada karya terbaru dari Bong Joon-Ho, salah satu sutradara
terbaik yang dimiliki Korea Selatan. Snowpiercer, sebuah kritik
implisit menggunakan bencana apokaliptik yang menakjubkan.
Tahun 2014, dikala suhu global semakin menjadi isu yang
mencemaskan, negara dunia sepakat untuk bersama melakukan upaya menurunkan suhu
dengan membangun satu sistem pada atmosfer. Sayangnya keberhasilan tersebut
hanya sesaat, karena perlahan suhu bumi yang tadinya panas berbalik secara
frontal. Ya, zaman es itu kembali, penduduk bumi tewas akibat suhu yang dalam
kurun waktu tujuh menit dapat merubah tangan manusia menjadi bongkahan es.
Namun tidak semua, masih ada sekelompok manusia beruntung dalam sebuah kereta
api super cepat milik jutawan kaya bernama Wilford (Ed Harris), Snowpiercer,
yang secara periodik terus berputar mengelilingi bumi.
Snowpiercer
ibarat sebuah ekosistem baru, dimana yang kaya berada di posisi depan penuh
dengan kebahagiaan, sedangkan si miskin berada di bagian ekor, setiap hari
hanya makan sepotong jelly yang menjadikan mereka lupa bagaimana rasa dari
sepotong daging. Tepat 17 tahun kemudian, Curtis (Chris Evans) dan Edgar
(Jamie Bell) mulai bosan dengan pidato utusan bernama Mason (Tilda
Swinton), dan ingin merubah sistem tersebut. Walaupun awalnya ditentang
oleh Gilliam (John Hurt), sebuah masalah yang menimpa Tanya (Octavia
Spencer) kembali menghidupkan misi mereka, terlebih dengan adanya secercah
harapan pada sosok yang diyakini dapat menolong, Namgoong Minsu (Song
Kang-Ho).
Ada
tiga hal utama yang sebenarnya sudah membuat Snowpiercer tampak sangat menarik
bahkan sebelum ia mulai hadir di layar. Pertama adalah Bong Joon-Ho,
anda bisa tanya google siapa pria ini, Barking Dogs Never Bite, Memories of
Murder, The Host, Mother, tidak cukup satu paragraf untuk menggambarkan
sutradara asal Korea ini yang gemar berpindah genre film. Kedua adalah jajaran
cast, saya bahkan belum memasukkan Alison Pill dan Go Ah-Sung
yang juga tampil memikat. Dan yang terakhir adalah konsep cerita layaknya kapal
Nuh yang di adaptasi dari novel grafik berjudul Le Transperceneige karya
Jacques Lob, Benjamin Legrand dan Jean-Marc Rochette, yang
kemudian merubah Snowpiercer menjadi sebuah film yang segmented.
Ya,
Snowpiercer adalah film yang segmented, tingkat tinggi malah. Pada
awalnya ini memang tampak seperti sebuah film fantasy yang akan
memanjakan penontonnya dengan sentuhan action mewah untuk membangun cerita yang
sesungguhnya sangat sederhana, bagaimana cara bergerak dari belakang kereta api
menuju bagian depan. Namun ternyata Snowpiercer punya cakupan yang jauh
lebih “luas”, dimana narasi padat yang Bong Joon-Ho bentuk bersama
dengan Kelly Masterson ini ingin bermain dengan cara yang lebih cerdas
dalam menyampaikan misi utama mereka. Ini bukan film dimana anda akan dituntun
untuk menemukan sebuah jawaban di akhir dan kemudian berteriak penuh
kegembiraan, ini adalah film yang sepanjang ia berjalan terus berupaya
memprovokasi anda, pada isu kemanusiaan.
Segi
teknis memang memikat, namun itu semua di gunakan oleh Bong Joon-Ho
hanya sebagai elemen pemanis. Cinematography gemilang dengan tingkat
kepadatan yang berimbang, dibantu dengan score yang terus membantu proses
membangun cerita, editing yang memikat, mereka di eksekusi dengan baik walaupun
sebenarnya punya nilai minus pada CGI yang tidak begitu memukau, terutama
kondisi di luar kereta api. Kekuatan utama Snowpiercer terletak pada
cara ia bercerita. Memang tidak ada perkembangan cerita yang begitu luas, namun
ia berhasil membawa penontonnya masuk kedalam proses observasi dan analisa pada
tema utama yang sukses menghadirkan konsistensi pada momentum, tekanan, dan
dinamika cerita, serta mampu terus menarik atensi penonton.
Ya,
Snowpiercer tampil menarik lewat cara yang pintar, keren, dan elegan.
Sebuah kenikmatan yang menyenangkan ketika secara bertahap bersama karakter
ikut berpindah antar gerbong, seperti ditarik kedalam petualangan sederhana
yang mendebarkan, namun tetap diberikan banyak materi-materi segar yang
variatif, dari pemandangan luar kereta api, masih dengan pergerakan plot dan
warna cerita yang mengejutkan, serta black humor, hingga eksekusi pada hal
sederhana. Begitu pula dengan kemudahan yang ia ciptakan agar penonton ikut
menaruh simpati pada karakter, terlibat dalam permainan emosional walaupun
tidak digali terlalu dalam. Mereka semua yang kemudian menjadikan beberapa
nilai minus skala kecil, seperti pergerakan mondar-mandir yang di beberapa
titik terkesan sedikit terlalu cepat dan terlalu lambat, terasa tidak begitu
mengganggu.
Kunci
utama dari menikmati Snowpiercer adalah mampu atau tidak penontonnya
untuk terus mengikuti irama dari tempo yang ia berikan, naik dan turun, cepat
dan lambat, dibeberapa bagian bahkan off-beat. Jika jawabannya ya, maka
bersiaplah untuk mendapatkan sebuah petualangan berisikan perjuangan yang
memang tidak akan menyediakan grand prize di akhir cerita, namun berhasil
membuat tema kebebasan dan humanisme yang ia usung melekat lama di ingatan
penontonnya. Ya, ini seperti sebuah alarm dini bahkan juga sindiran frontal
yang implisit pada cara berjalan dunia masa kini yang dapat dengan mudah
dikategorikan sebagai sesuatu yang salah.
Jika
harus menilai secara individu tidak ada satupun karakter yang berdiri seorang
diri dalam menggerakkan cerita, termasuk itu Chris Evans yang sebenarnya
berperan sebagai tokoh central. Bong Joon-Ho sepeti punya misi lain
untuk menyampaikan betapa pentingnya kerjasama dan saling membantu, ia memang
kerap mendorong Evans sebagai penguasa panggung utama, namun tetap menjaga
kontribusi dari Jamie Bell, Octavia Spencer, Tilda Swinton, Song
Kang-Ho, dan Go Ah-Sung agar tidak tenggelam dan hilang, dan ikut
berperan aktif dalam menggerakkan konflik dan isu yang dilemparkan.
Overall,
Snowpiercer adalah film yang memuaskan. Ini pertama kalinya saya
melakukan editing dengan melakukan pemotongan dibanyak bagian, sebagai upaya
melindungi kenikmatan dari kejutan yang ia berikan. Konsep yang kokoh, eksekusi
teknis dan cerita yang padat dan penuh percaya diri, ia mampu mengejutkan
menggunakan kekerasan, berhasil menyentuh tanpa terkesan mellow, dan
yang terpenting menyadarkan kembali penontonnya pada sisi humanisme. Beautiful
& segmented, an amazing implicit thought-provoking critique
about humanism.
Ada
tiga alasan mengapa film Snowpiercer wajib ditonton, yaitu :
1. Isu Sosial
Film-film fiksi ilmiah dengan latar masa depan distopia
biasanya sarat dengan kritik sosial. “Snowpiercer” tetap mampu mengolah
kisahnya dengan memikat meski kaum manusia yang bertikai jumlahnya hanya
segelintir. Bila dilihat secara garis besar, kondisi “Snowpiercer” dan
masalah-masalahnya sesungguhnya hanya merupakan versi mikroskopis dari dunia
yang ada saat ini. Masalah-masalah seperti jurang antara si miskin dan si kaya,
kekerasan, hak asasi manusia, pemujaan terhadap mesin dan sosok juru selamat,
sampai masalah ekosistem dan harga dari keselamatan umat manusia dikupas
perlahan oleh Bong Joon-ho memanfaatkan jendela durasi yang ada.
2. Desain
Anda
mungkin punya sedikit bayangan mengenai apa isi dari kereta yang membawa
rombongan terakhir umat manusia ini. Tetapi, sang desainer produksi, Ondrej
Nekvasil, punya cukup banyak imajinasi untuk membuat isi kereta ini mirip
dengan apa yang Anda bayangkan, namun tidak benar-benar seperti apa yang Anda
pikirkan. Mulai dari bagian belakang kereta yang kumuh sampai ke gerbong depan
yang mewah, tiap bagian menawarkan kejutan tersendiri dengan humor gelap yang
membuat kehadiran segmen demi segmen rasanya seperti memasuki sebuah mimpi
buruk yang penuh hal janggal.
Sayangnya, detail unik yang ada di dalam kereta tidak
diimbangi dengan lanskap bersalju di luar jendelanya yang terlihat seperti
hasil efek visual murah. Hal ini cukup membuat “Snowpiercer” pincang karena
fantasi mengenai akhir peradaban yang diakibatkan oleh kecerobohan manusia
sendiri akan terasa lebih nyata dengan gambaran kota-kota mati berselimut salju
yang lebih photorealistic .
1.
Darah dan Kekerasan
Dari sederetan film fiksi ilmiah yang beredar di tahun ini,
judul-judul dengan rating dewasa cukup sulit ditemui. Dengan revolusi yang
terjadi di atas kereta, “Snowpiercer” yang tidak perlu memikirkan batasan
rating seperti film-film Hollywood pun bebas untuk mewarnai kisahnya dengan
semburat darah. Meski demikian, kekerasan yang mewarnai aksi di atas kereta
bukan hanya sekadar untuk bergaya demi kesan sangar. Pertumpahan darah di
tengah perjuangan untuk memperoleh keadilan memang sering kali tak terelakkan.
“Snowpiercer” sendiri cukup efektif
menggunakan ruangan-ruangan sempit untuk menguatkan tensi cerita saat para
pemeran utamanya mau tak mau harus berhadapan dengan bahaya tanpa adanya celah
untuk menghindar atau kabur. Tapi, kesan horor tak hanya akan didapatkan
penonton hanya dari visualisasinya di layar saja. Tentu saja, gambaran paling
menakutkan ada di kepala penonton sendiri yang dapat membayangkan apa saja yang
telah terjadi di dalam gerbong-gerbong yang terisolasi selama hampir dua dekade
ini.
Referensi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar