Kamis, 25 Desember 2014

TUGAS 4 ETIKA BISNIS



MORALITAS KORUPTOR
Melta Oktora
Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomi, Universitas Gunadarma

ABSTRAK
Manusia harus memiliki apa yang disebut dengan moral. Moral menekankan manusia untuk bisa membedakan mana yang baik dan yang buruk serta bisa membatasi tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari. Jika seseorang tidak memiliki moral yang baik, maka ia dapat dengan mudah melakukan tindakan yang melanggar norma, seperti halnya seorang koruptor. Koruptor adalah orang yang melakukan tindak korupsi. Korupsi sendiri dapat diartikan sebagai perbuatan merusak sistem yang bisa dilakukan oleh siapa saja karena suatu kepentingan atau tujuan.
Banyak sekali faktor yang dapat menjadi penyebab terjadinya korupsi, diantaranya adalah tidak ditanamnya sifat kejujuran dan transparasi dalam diri seseorang, kesempatan yang terbuka lebar untuk melakukan korupsi, serta kekuatan hukum yang lemah untuk para koruptor sehingga tidak memberi efek jera, dan mungkin itu salah satu juga yang menjadi surga bagi para koruptor untuk melakukan kegiatan korupsinya.
KATA KUNCI : Moralitas, Korupsi, Etika Bisnis

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
            Dalam sebuah kehidupan, manusia dihadapkan pada norma-norma atau aturan yang berlaku dimasyarakat dimanapun ia tinggal. Tidak bisa seenaknya saja melakukan perbuatan yang melanggar norma atau aturan yang berlaku dimasyarakat. Maka dari itu, manusia harus memiliki apa yang disebut dengan moral. Moral menekankan manusia untuk bisa membedakan mana yang baik dan yang buruk serta bisa membatasi tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari.
            Jika seseorang tidak memiliki moral yang baik, maka ia dapat dengan mudah melakukan tindakan yang melanggar norma, seperti halnya seorang koruptor. Koruptor adalah orang yang melakukan tindak korupsi. Korupsi sendiri dapat diartikan sebagai perbuatan merusak sistem yang bisa dilakukan oleh siapa saja karena suatu kepentingan atau tujuan. Korupsi berasal dari dua kata “com” dan “rumpere” yang berarti tindakan buruk secara kolektif. Pandangan secara umum, korupsi merupakan manipulasi uang Negara oleh pejabat pemerintah. Beberapa bentuk korupsi diantaranya, Manipulasi, Suap / penyogokan, Penyalahgunaan kekuasaan, Nepotisme, dan lain-lain.
Bentuk atau praktik korupsi kini marak terjadi di Indonesia, tidak hanya terjadi pada bidang politik saja, melainkan kini sudah menyebar ke dunia usaha. Dan praktik korupsi yang paling sering dilakukan di Indonesia, yaitu suap atau biasa dikenal penyogokan. Suap di Indonesia sudah semakin marak dilakukan, bahkan semakin menjadi. Sogokan atau suap tidak hanya terjadi pada instansi pemerintah dan pelaku bisnis saja, tetapi juga dalam hubungan antara pelaku bisnis maupun dalam kehidupan sehari – hari.
Berdasarkan uraian diatas penulis bermaksud untuk memberi judul penulisan ini “Moralitas Koruptor”  yang akan membahas faktor terjadinya praktik korupsi, apa yang membuat korupsi ini sulit diberantas, dan dampaknya bagi kegiatan bisnis.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana korupsi bisa terjadi, mengapa sulit diberantas dan apa dampaknya bagi kegiatan bisnis, dan siapa yang harus bertanggung jawab?
1.3 Batasan Masalah
Untuk mencegah pemahaman yang terlalu rumit, penulis membatasi permasalahan hanya pada moralitas koruptor.
1.4 Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui bagaimana korupsi bisa terjadi, mengapa sulit diberantas dan apa dampaknya bagi kegiatan bisnis, dan siapa yang harus bertanggung jawab.

LANDASAN TEORI
2.1 Definisi Moralitas
Moralitas berasal dari kata dasar “moral” berasal dari kata “mos” yang berarti kebiasaan. Kata “mores” yang berarti kesusilaan, dari “mos”, “mores”. Moral adalah ajaran tentang baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban dan lain-lain, akhlak budi pekerti, dan susila. Kondisi mental yang membuat orang tetap berani, bersemangat, bergairah, berdisiplin dan sebagainya.
Moral secara etimologi diartikan: a) Keseluruhan kaidah-kaidah kesusilaan dan kebiasaan yang berlaku pada kelompok tertentu, b) Ajaran kesusilaan, dengan kata lain ajaran tentang azas dan kaidah kesusilaan yang dipelajari secara sistematika dalam etika. Dalam bahasa Yunani disebut “etos” menjadi istilah yang berarti norma, aturan-aturan yang menyangkut persoalan baik dan buruk dalam hubungannya dengan tindakan manusia itu sendiri, unsur kepribadian dan motif, maksud dan watak manusia. kemudian “etika” yang berarti kesusilaan yang memantulkan bagaimana sebenarnya tindakan hidup dalam masyarakat, apa yang baik dan yang buruk.
Moralitas yang secara leksikal dapat dipahami sebagai suatu tata aturan yang mengatur pengertian baik atau buruk perbuatan kemanusiaan, yang mana manusia dapat membedakan baik dan buruknya yang boleh dilakukan dan larangan sekalipun dapat mewujudkannya, atau suatu azas dan kaidah kesusilaan dalam hidup bermasyarakat. Secara terminologi moralitas diartikan oleh berbagai tokoh dan aliran-aliran yang memiliki sudut pandang yang berbeda:
Franz Magnis Suseno menguraikan moralitas adalah keseluruhan norma-norma, nilai-nilai dan sikap seseorang atau sebuah masyarakat. Menurutnya, moralitas adalah sikap hati yang terungkap dalam perbuatan lahiriah (mengingat bahwa tindakan merupakan ungkapan sepenuhnya dari hati), moralitas terdapat apabila orang mengambil sikap yang baik karena Ia sadar akan kewajiban dan tanggung jawabnya dan bukan ia mencari keuntungan. Moralitas sebagai sikap dan perbuatan baik yang betul-betul tanpa pamrih.
W. Poespoprodjo, moralitas adalah kualitas dalam perbuatan manusia yang dengan itu kita berkata bahwa perbuatan itu benar atau salah, baik atau buruk atau dengan kata lain moralitas mencakup pengertian tentang baik buruknya perbuatan manusia.
Immanuel Kant, mengatakan bahwa moralitas itu menyangkut hal baik dan buruk, yang dalam bahasa Kant, apa yang baik pada diri sendiri, yang baik pada tiap pembatasan sama sekali. Kebaikan moral adalah yang baik dari segala segi, tanpa pembatasan, jadi yang baik bukan hanya dari beberapa segi, melainkan baik begitu saja atau baik secara mutlak.
Emile Durkheim mengatakan, moralitas adalah suatu sistem kaidah atau norma mengenai kaidah yang menentukan tingka laku kita. Kaidah-kaidah tersebut menyatakan bagaimana kita harus bertindak pada situasi tertentu. Dan bertindak secara tepat tidak lain adalah taat secara tepat terhadap kaidah yang telah ditetapkan.
Dari pengertian tersebut, disimpulkan bahwa moralitas adalah suatu ketentuan-ketentuan kesusilaan yang mengikat perilaku sosial manusia untuk terwujudnya dinamisasi kehidupan di dunia, kaidah (norma-norma) itu ditetapkan berdasarkan konsensus kolektif, yang pada dasarnya moral diterangkan berdasarkan akal sehat yang objektif.

 2.2 Definisi Korupsi
Korupsi atau rasuah bahasa latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) adalah tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak.
Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
  • perbuatan melawan hukum,
  • penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana,
  • memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, dan
  • merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Jenis tindak pidana korupsi di antaranya, namun bukan semuanya, adalah :
  • memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan),
  • penggelapan dalam jabatan,
  • pemerasan dalam jabatan,
  • ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara), dan
  • menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).
Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harfiahnya pemerintahan oleh para pencuri, dimana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.
Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk ringan atau berat, terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini dan membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan kejahatan. Tergantung dari negaranya atau wilayah hukumnya, ada perbedaan antara yang dianggap korupsi atau tidak. Sebagai contoh, pendanaan partai politik ada yang legal di satu tempat namun ada juga yang tidak legal di tempat lain.

Dampak Negatif Tindak Korupsi
Demokrasi
Korupsi menunjukan tantangan serius terhadap pembangunan. Di dalam dunia politik, korupsi mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan yang baik (good governance) dengan cara menghancurkan proses formal. Korupsi di pemilihan umum dan di badan legislatif mengurangi akuntabilitas dan perwakilan di pembentukan kebijaksanaan; korupsi di sistem pengadilan menghentikan ketertiban hukum; dan korupsi di pemerintahan publik menghasilkan ketidak-seimbangan dalam pelayanan masyarakat. Secara umum, korupsi mengkikis kemampuan institusi dari pemerintah, karena pengabaian prosedur, penyedotan sumber daya, dan pejabat diangkat atau dinaikan jabatan bukan karena prestasi. Pada saat yang bersamaan, korupsi mempersulit legitimasi pemerintahan dan nilai demokrasi seperti kepercayaan dan toleransi.

Ekonomi
Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dan mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan. Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi dan ketidak efisienan yang tinggi. Dalam sektor private, korupsi meningkatkan ongkos niaga karena kerugian dari pembayaran ilegal, ongkos manajemen dalam negosiasi dengan pejabat korup, dan risiko pembatalan perjanjian atau karena penyelidikan. Walaupun ada yang menyatakan bahwa korupsi mengurangi ongkos (niaga) dengan mempermudah birokrasi, konsensus yang baru muncul berkesimpulan bahwa ketersediaan sogokan menyebabkan pejabat untuk membuat aturan-aturan baru dan hambatan baru. Dimana korupsi menyebabkan inflasi ongkos niaga, korupsi juga mengacaukan "lapangan perniagaan". Perusahaan yang memiliki koneksi dilindungi dari persaingan dan sebagai hasilnya mempertahankan perusahaan-perusahaan yang tidak efisien.
Korupsi menimbulkan distorsi (kekacauan) di dalam sektor publik dengan mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek masyarakat yang mana sogokan dan upah tersedia lebih banyak. Pejabat mungkin menambah kompleksitas proyek masyarakat untuk menyembunyikan praktek korupsi, yang akhirnya menghasilkan lebih banyak kekacauan. Korupsi juga mengurangi pemenuhan syarat-syarat keamanan bangunan, lingkungan hidup, atau aturan-aturan lain. Korupsi juga mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan dan infrastruktur; dan menambahkan tekanan-tekanan terhadap anggaran pemerintah.

Kesejahteraan umum negara

Korupsi politis ada di banyak negara, dan memberikan ancaman besar bagi warga negaranya. Korupsi politis berarti kebijaksanaan pemerintah sering menguntungkan pemberi sogok, bukannya rakyat luas. Satu contoh lagi adalah bagaimana politikus membuat peraturan yang melindungi perusahaan besar, namun merugikan perusahaan-perusahaan kecil (SME). Politikus-politikus "pro-bisnis" ini hanya mengembalikan pertolongan kepada perusahaan besar yang memberikan sumbangan besar kepada kampanye pemilu mereka.
Contoh Kasus Korupsi :
·         Gayus Tambunan adalah mantan pegawai negeri sipil di Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Indonesia. Namanya menjadi terkenal ketika Komjen Susno Duadji menyebutkan bahwa Gayus mempunyai uang Rp 25 miliar di rekeningnya plus uang asing senilai 60 miliar dan perhiasan senilai 14 miliar di brankas bank atas nama istrinya dan itu semua dicurigai sebagai harta haram. Dalam perkembangan selanjutnya Gayus sempat melarikan diri ke Singapura beserta anak istrinya sebelum dijemput kembali oleh Satgas Mafia Hukum di Singapura. Kasus Gayus mencoreng reformasi Kementerian Keuangan Republik Indonesia yang sudah digulirkan Sri Mulyani dan menghancurkan citra aparat perpajakan Indonesia.

2.3 Etika Bisnis dan Korupsi
Pelanggaran etika bisa terjadi di mana saja dan terjadi kapan saja, termasuk dalam dunia bisnis. Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) tumbuh subur dan terjadi di banyak perusahaan baik perusahaan asing ataupun dalam negeri sendiri, baik perusahaan besar maupun kecil korupsi bisa terjadi. Setiap perusahaan harus memiliki nilai-nilai perusahaan (corporate values) yang menggambarkan sikap moral dan kepribadian perusahaan dalam pelaksanaan usahanya. Dunia usaha berperan menerapkan GCG dengan antara lain menerapkan etika bisnis secara konsisten sehingga dapat terwujud iklim usaha yang sehat, efisien, dan transparan. bagi yang melanggar bisa kena hukuman sesuai dengan undang – undang yang berlaku.
Perilaku korup di tempat kerja tercipta dari kebiasaan ataupun kesenangan untuk mengambil yang bukan haknya dengan cara mencurangi perusahaan. Bagi oknum-oknum bermental korup melakukan korupsi sudah seperti hobi, sehingga sebaik apapun tata kelola dan sistem yang dibangun, mereka tetap akan menjadi lebih kreatif untuk bisa korupsi.
Pada umumnya, para pengusaha jujur selalu berupaya untuk menghilangkan korupsi dari DNA perusahaannya, tetapi mental-mental korup selalu cerdas bersembunyi di balik baju integritas, sehingga menjadi tidak mudah untuk diidentifikasi oleh sistem dan tata kelola. 
Indeks Persepsi Korupsi 2009 yang diterbitkan oleh Transparency International (secara global) menunjukkan bahwa rata-rata, dua dari tiga perusahaan melaporkan kasus korupsi diinternalnya. Korupsi adalah bukti bahwa oknum-oknum bermental korup memiliki hobi untuk menyalahgunakan kepercayaan, kekuasaan, jabatan, dan tanggung jawab. Mereka yang suka korup ini biasanya tertawa dengan standar moralitas dan integritas yang dikembangkan oleh perusahaan. Karena dasarnya mereka ini adalah energi korup yang cerdas dan terlatih mindsetnya, sehingga persepsi dan logika berpikir mereka memandang korupsi sebagai sesuatu yang baik.
Perusahaan-perusahaan yang sadar akan bahaya korupsi terhadap keberlangsungan bisnisnya, pastilah secara terus-menerus melatih dan memberikan pencerahan kepada setiap insan perusahaan agar korupsi bisa diminimalkan. Salah satu upaya yang biasa dilakukan adalah dengan mengembangkan perilaku kerja yang taat etika bisnis dan kode etik kerja. Untuk itu, perusahaan akan membangun sistem pengawasan yang penuh integritas; serta melakukan proses internalisasi, indoktrinasi, ataupun motivasi secara terus-menerus, dengan harapan setiap insan perusahaan terpengaruh untuk patuh etika bisnis dan menguatkan integritas pribadi. 

METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Metode Pengumpulan Data
Studi Pustaka
Data dalam penulisan ini mengunakan data sekunder. Dimana pengertian Data Sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan peneliti dari berbagai sumber yang telah ada sehingga peneliti tidak perlu mengolah datanya (peneliti sebagai tangan kedua).
Mencari data-data yang diperlukan dengan metode searching menggunakan internet, yaitu dengan membaca referensi referensi yang berkaitan dengan masalah yang dibahas oleh penulis. Mempelajari buku-buku yang berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas, yakni teori moralitas dan korupsi. 

BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Mengapa korupsi bisa terjadi ?
Kini tindak korupsi semakin marak terjadi diberbagai bidang, lalu apa yang menjadi faktor terjadinya tindak korupsi ?
Berikut ini merupakan faktor-faktor penyebab korupsi yang biasanya terjadi :
1.      Penegakan hukum tidak konsisten : penegakan hukum hanya sebagai meke-up politik, bersifat sementara dan sellalu berubah tiap pergantian pemerintahan.
2.      Penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang karena takut dianggap bodoh bila tidak menggunakan kesempatan.
3.      Langkanya lingkungan yang antikorup : sistem dan pedoman antikorupsi hanya dilakukan sebatas formalitas.
4.      Rendahnya pendapatan penyelenggaraan negara : Pedapatan yang diperoleh harus mampu memenuhi kebutuhan penyelenggara negara, mampu mendorong penyelenggara negara untuk berprestasi dan memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat.
5.      Kemiskinan, keserakahan : masyarakat kurang mampu melakukan korupsi karena kesulitan ekonomi. Sedangkan mereka yang berkecukupan melakukan korupsi karena serakah, tidak pernah puas dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan.
6.      Budaya memberi upeti, imbalan jasa dan hadiah.
7.      Konsekuensi bila ditangkap lebih rendah daripada keuntungan korupsi : saat tertangkap bisa menyuap penegak hukum sehingga dibebaskan atau setidaknya diringankan hukumannya. Rumus: Keuntungan korupsi > kerugian bila tertangkap
8.      Gagalnya pendidikan agama dan etika : ada benarnya pendapat Franz Magnis Suseno  bahwa agama telah gagal menjadi pembendung moral bangsa dalam mencegah korupsi karena perilaku masyarakat yang memeluk agama itu sendiri. Pemeluk agama menganggap agama hanya berkutat pada masalah bagaimana cara beribadah saja. Sehingga agama nyaris tidak berfungsi dalam memainkan peran sosial. Menurut Franz, sebenarnya agama bisa memainkan peran yang besar dibandingkan insttusi lainnya. Karena adanya ikatan emosional antara agama dan pemeluk agama tersebut jadi agama bisa menyadarkan umatnya bahwa korupsi dapat memberikan dampak yang sangat buruk baik bagi dirinya maupun orang lain. (indopos.co.id, 27 Sept 2005)
Selain faktor-faktor diatas, ada beberapa faktor lain yang menjadi alasan dari tindak korupsi, yaitu:
1.      Faktor kebutuhan
Merupakan faktor yang dapat mendorong seseorang melakukan korupsi karena keinginan untuk memiliki sesuatu namun pendapatannya tidak memungkinkan untuk mendapatkan apa yang diinginkannya.
2.      Faktor tekanan
Merupakan faktor yang biasanya dilakukan karena permintaan dari seseorang, kerabat atau bahkan atasan sendiri yang tidak bisa dihindari.
Faktor kesempatan
Merupakan faktor yang biasanya dilakukan oleh atasan atau pemegang kekuasaan dengan memanfaatkan jabatan dan kewenangan yang dimiliki untuk memperkaya dirinya, walaupun dengan cara yang salah dan melanggar undang – undang.
Faktor rasionalisasi
3.      Merupakan faktor yang biasanya dilakukan oleh pejabat tinggi seperti bupati / walikota, ditingkat kabupaten / kota atau gubernur ditingkat provinsi dengan menganggap bahwa wajar bila memiliki rumah mewah, mobil mewah dan lain sebagainya karena ia seorang pejabat pemerintahan.
Untuk menangani hal di atas, diperlukan dukungan dan tindak yang tegas baik dari pemerintah sendiri maupun dari masyarakat sekitar. Adanya sanksi hukum yang jelas, terbuka, transparan dengan kedudukan yang sama untuk setiap orang, baik pejabat atau masyarakat.

4.2 Mengapa tindak korupsi sulit diberantas ?
Meskipun tindak korupsi adalah tindakan yang melanggar hukum, mengapa masih banyak yang melakukan tindak korupsi ? karena banyak kondisi yang mendukung terjadinya korupsi.
Berikut ini adalah kondisi yang mendukung terjadinya korupsi :
·         Konsentrasi kekuasaan di pengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab langsung kepada rakyat, seperti yang sering terlihat di rezim-rezim yang bukan demokratik.Kurangnya transparansi di pengambilan keputusan pemerintah
·         Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan politik yang normal.
·         Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar sehingga pelaku tergiur untuk menguasai uang tersebut.
·         Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan "teman dekat".
·         Lemahnya ketertiban hukum, yakni hukuman yang diberikan tidak sebanding dengan tindak korupsi sehingga pelaku tidak jera.
·         Lemahnya profesi hukum. Terkadang penegak hukum pun mudah untuk disuap sehingga pelaku dengan mudah bekerjasama dengan penegak hukum untuk penyelesaian kasusnya.
·         Kurangnya kebebasan berpendapat atau kebebasan media massa.

·         Gaji pegawai pemerintah yang dianggap sangat kecil.

·         Semakin langkanya kejujuran di dalam pemerintahan


4.3 Bagaimana dampaknya bagi kegiatan bisnis ?
Dampak korupsi terhadap bisnis dan perekonomian di Indonesia sangat berpengaruh, secara tidak langsung akan meningkatkan angka kemiskinan dan dapat menyebabkan ketidakmerataan pembangunan ekonomi di Indonesia. Di samping itu, juga menciptakan perilaku buruk yang dapat mendorong timbulnya persaingan usaha yang tidak sehat karena dipengaruhi oleh suap, bukan karena kualitas dan manfaat.
Bagi perusahaan swasta, korupsi berdampak pada ketidakadilan, ketidakseimbangan dan persaingan tidak sehat sehingga masyarakatlah yang akan dirugikan, seperti tingginya harga pasaran suatu produk (barang / jasa). Selain itu, pengaruh korupsi juga terlihat dari kurangnya inovasi atau rasa kreatif dari masing – masing karyawan dalam persaingan memajukan perusahaannya. Hal ini diakibatkan karena perusahaan – perusahaan yang bergantung hasil korupsi tidak akan menggunakan sumber daya yang ada pada perusahaannya. Ketika hal ini dipertahankan, bagi sebagian perusahaan yang jujur dan masyarakat akan dirugikan, maka cepat atau lambat akan semakin memperburuk perekonomian di Indonesia serta dapat membentuk kepribadian masyarakat yang tamak, serakah akan harta dan mementingkan diri sendiri.

4.4 Siapa yang harus bertanggung jawab ?
Pertanyaan di atas sangat sederhana. Namun, jawabannya tidak akan pernah sederhana, bahkan bisa dikatakan rumit, kecuali jika direkayasa sebagai pembenaran belaka (justification). Contoh sederhana adalah apa yang terbentang luas di hadapan negeri ini. Banyak lembaga pengawasan, dan pemberantasan korupsi sekarang ini seperti KPK. Anehnya, perbandingan antara koruptor yang ditangkap dan jumlah korupsi yang ditengarai tidaklah sepadan sama sekali. Ibarat membandingkan semut dengan gajah. Padahal KPK itu dinyatakan berfungsi dengan baik apabila koruptor yang ditangkap itu makin lama makin sedikit, artinya tindak korupsi yang terjadi di negara ini semakin berkurang.
Sejak awal keberadaannya, sesuai Keppres 31 Tahun 1983, BPKP telah memangku tugas pokok: mempersiapkan perumusan kebijaksanaan pengawasan keuangan dan pengawasan pembangunan, menyelenggarakan pengawasan umum dalam penggunaan dan pengurusan keuangan, menyelenggarakan pengawasan pembangunan. Pelaksanaan tugas pokok tersebut terjabarkan dalam 16 (enambelas) fungsi, yang salah satunya adalah: “melaksanakan pengawasan khusus terhadap kasus-kasus tidak lancarnya pelaksanaan pembangunan dan kasus-kasus yang diperkirakan mengandung unsur penyimpangan yang merugikan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah.” Ke-15 (limabelas) fungsi lainnya adalah dalam rangka pengawasan dalam perbaikan manajemen. Untuk melaksanakan pemeriksaan khusus, BPKP memperoleh masukan sebagai dasar pendalaman dari pengaduan masyarakat dan pengembangan dari hasil pemeriksaan. Tugas yang harus dilaksanakan adalah mengungkapkan:
a)      keterjadian penyimpangan;
b)      adanya bukti kerugian keuangan Pemerintah;
c)      adanya bukti orang atau badan yang melakukan penyimpangan;
d)     adanya bukti orang atau badan yang menikmati hasil penyimpangan.
Jika ditemukan bukti-bukti tersebut, maka kasusnya akan diteruskan ke aparat penegak hukum, yaitu Kejaksaan Agung untuk diproses sesuai hukum yang berlaku. Penyelesaian kasus tersebut sangat tergantung dari proses hukum, mulai dari penyelidikan hingga pemeriksaan di pengadilan.
Selama ini, banyak yang mengamati bahwa proses pemeriksaan di pengadilan seringkali cenderung melemahkan temuan pemeriksaan, sehingga apa yang telah dihasilkan oleh BPKP tidak terungkap atau tidak terbukti di pengadilan.
Lantas, siapa yang harus bertanggungjawab memberantas korupsi?
Sebagai contoh:
Seseorang menerima sejumlah pembayaran dari petugas perusahaan atau instansi dengan menandatangani kwitansi yang nilainya lebih besar dari jumlah yang diterima. Pada kasus demikian, orang yang bersangkutan merasa tidak bersalah, dengan berfikir bahwa kwitansi tersebut tidak berhubungan dengan kewajibannya, di mana yang penting uang diterima sesuai permintaan, meskipun berakibat bahwa perusahaan atau instansi harus mengeluarkan uang lebih besar dari yang seharusnya. Kelebihan pembayaran adalah menjadi hak petugas yang bersangkutan. Kasus di atas memenuhi unsur tindak pidana korupsi, karena: Pertama; yang menandatangani kwitansi telah melakukan penyimpangan dengan memberik keterangan palsu atau tidak benar; Kedua; menguntungkan petugas perusahaan; Ketiga; dapat merugikan keuangan negara atau perusahaan, Keempat; dilakukan oleh yang menandatangani kwitansi. Apabila seseorang membeli mobil atau motor bekas dengan tidak mengisi tanggal pembayaran. Dengan tidak mengisi tanggal pembayaran, maka pembeli mobil atau motor tidak harus membayar bea balik nama dengan segera. Padahal, sesuai ketentuan, paling lambat dalam waktu 3 (tiga) bulan setelah perpindahan kepemilikan, pemilik baru harus melaporkan perpindahan kepemilikan tersebut dan membayar bea balik nama. Tindakan tidak memberi tanggal pada kwitansi bagi yang menjual bukan menjadi sesuatu masalah, karena yang penting uang sudah diterima. Tapi bagi pembeli, tidak diberi tanggal kwitansi berarti tidak akan segera balik nama, berarti tidak perlu segera membayar bea balik nama.
Kasus di atas mengandung unsur tindak pidana korupsi, karena: Pertama; dilakukan oleh yang menandatangani kwitansi; Kedua; tidak memberi tanggal berarti memberi keterangan palsu, Ketiga; merugikan keuangan negara/daerah, karena tidak segera membayar bea balik nama, Keempat; menguntungkan pihak pembeli. Jika seseorang menandatangani kwitansi pembelian tanah dengan nilai lebih rendah dari jumlah yang diterima. Dengan kwitansi yang lebih rendah berarti baik pembeli maupun penjual akan membayar pajak terkait lebih rendah dari yang seharusnya. Tindakan ini memenuhi unsur tindak pidana korupsi, karena:
·         Yang melakukan adalah yang menandatangani kwitansi
·         Menguntungkan pihak penjual dan pembeli karena membayar pajak lebih kecil
·         Merugikan keuangan negara karena pajak yang diterima negara lebih kecil
·         Melakukan penyimpangan karena menandatangani tidak sesuai dengan jumlah yang diterima
Memang, tindakan-tindakan sebagaimana dicontohkan di atas terasa kental keberadaannya, meskipun seringkali sulit menemukan pembuktian keterjadiannya. Misalnya, bukti surat sebagaimana diatur dalam KUHAP adalah kwitansi yang ditandatangani. Namun, kalau masyarakat tidak mengakui bahwa kwitansi yang telah ditandatangani adalah salah, maka bagaimana mungkin pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan. Oleh karena itu, pertanyaan sederhana yang harus diulang adalah siapakah yang harus bertanggungjawab terhadap korupsi, apakah:
·         Orang yang menandatangani kwitansi?
·         Orang yang membayarkan uangnya?
·         Orang yang mengetahui tetapi tidak melapor?
·         Aparat pengawasan yang tidak mampu mendeteksi adanya penyimpangan tersebut?
Dalam praktik pemeriksaan, seringkali ditemukan penyimpangan, tetapi kebanyakan berbenturan dengan kenyataan bahwa kesimpulan hasil pemeriksaan harus berhadapan dengan bukti yang diperlukan, sementara bukti yang dimiliki telah memenuhi unsur bukti, dan hasil konfirmasi dari yang menerbitkan bukti adalah benar, dan hasil analisis bukan merupakan bukti, maka apa yang anggapan pemeriksa bahwa telah terjadi penyimpangan seringkali menjadi tidak mampu diungkapkan.
Masalah-masalah kecil tapi mendasar sebagaimana diungkapkan di atas adalah salah satu alasan mengapa pemeriksaan seringkali gagal mengungkap tindak pidana korupsi. Kegagalan dimaksud juga bukan lantaran semata ketidaksungguhan aparat, melainkan karena adanya kecenderungan masyarakat umum secara tidak sadar dan sadar tidak mendukung secara riil upaya menghilangkan korupsi dari negara tercinta ini. Jika budaya tertib masyarakat telah tercipta, bisalah diharapkan efektivitas pemberantasan korupsi. Dengan demikian, diperlukan keikutsertaan seluruh komponen bangsa, untuk memulai dari yang kecil-kecil, sehingga tercipta sebuah iklim kondusif untuk mengenyahkan tindak pidana korupsi yang besar-besar, yang seringkali tidak terjamah oleh kepastian hukum.

PENUTUP
5.1  Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas, moralitas memang sangat dibutuhkan bagi manusia untuk menjalankan kehidupan sehari-hari. Moralitas dapat menjadi tolak ukur bagi manusia untuk membedakan mana perbuatan yang baik dan mana yang buruk. Serta dapat membatasi tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari. Banyak sekali faktor yang dapat menjadi penyebab terjadinya korupsi, diantaranya adalah tidak ditanamnya sifat kejujuran dan transparasi dalam diri seseorang, kesempatan yang terbuka lebar untuk melakukan korupsi, serta kekuatan hukum yang lemah untuk para koruptor sehingga tidak memberi efek jera, dan mungkin itu salah satu juga yang menjadi surga bagi para koruptor untuk melakukan kegiatan korupsinya.
5.2  Saran
·         Tanamkanlah sikap disiplin, jujur dan terbuka serta menerapkan perintah agama yang baik sejak dini dalam kehidupan sehari-hari, itu merupakan modal awal manusia untuk bisa mencegah segala perbuatan korupsi yang sifatnya bisa merugikan berbagai pihak.
·         Serta menguatkan kekuatan hukum di negara ini untuk pelaku korupsi, seperti hukuman mati. Karena hukuman penjara bagi mereka, itu merupakan hukuman yang tidak berat dan tidak membuat efek jera, apalagi ditambah dengan aparat hukum yang mudah disuap sehingga hukuman pun menjadi sangat ringan. Tidak heran kini banyak yang tertarik untuk melakukan tindak korupsi tersebut. Jadi, korupsi tidak akan pernah punah jika memang tidak ada kesadaran dari diri masing-masing. Untuk itu, jika ingin mencoba melawan korupsi, cobalah dari diri kita sendiri, jangan hanya bisa melakukan pencitraan, yaitu berbicara melawan korupsi, tetap dibelakangnya dia melakukan itu.
Daftar Pustaka
Axel Dreher, Christos Kotsogiannis, Steve McCorriston (2004), Corruption Around the World: Evidence from a Structural Model.
Suyitno,2006. Korupsi, Hukum dan Moralitas Agama. Palembang : Gama Media
http://softskilletikabisnis.blogspot.com/2011/11/korupsi.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar