MORALITAS KORUPTOR
Melta Oktora
Jurusan Manajemen,
Fakultas Ekonomi, Universitas Gunadarma
ABSTRAK
Manusia
harus memiliki apa yang disebut dengan moral. Moral menekankan manusia untuk
bisa membedakan mana yang baik dan yang buruk serta bisa membatasi tingkah laku
manusia dalam kehidupan sehari-hari. Jika seseorang tidak memiliki moral yang
baik, maka ia dapat dengan mudah melakukan tindakan yang melanggar norma,
seperti halnya seorang koruptor. Koruptor adalah orang yang melakukan tindak
korupsi. Korupsi sendiri dapat diartikan sebagai perbuatan merusak sistem yang bisa dilakukan oleh siapa saja
karena suatu kepentingan atau tujuan.
Banyak
sekali faktor yang dapat menjadi penyebab terjadinya korupsi, diantaranya
adalah tidak ditanamnya sifat kejujuran dan transparasi dalam diri seseorang,
kesempatan yang terbuka lebar untuk melakukan korupsi, serta kekuatan hukum yang
lemah untuk para koruptor sehingga tidak memberi efek jera, dan mungkin itu
salah satu juga yang menjadi surga bagi para koruptor untuk melakukan kegiatan
korupsinya.
KATA KUNCI
: Moralitas, Korupsi, Etika Bisnis
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam
sebuah kehidupan, manusia dihadapkan pada norma-norma atau aturan yang berlaku
dimasyarakat dimanapun ia tinggal. Tidak bisa seenaknya saja melakukan
perbuatan yang melanggar norma atau aturan yang berlaku dimasyarakat. Maka dari
itu, manusia harus memiliki apa yang disebut dengan moral. Moral menekankan
manusia untuk bisa membedakan mana yang baik dan yang buruk serta bisa
membatasi tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari.
Jika
seseorang tidak memiliki moral yang baik, maka ia dapat dengan mudah melakukan
tindakan yang melanggar norma, seperti halnya seorang koruptor. Koruptor adalah
orang yang melakukan tindak korupsi. Korupsi sendiri dapat diartikan sebagai perbuatan merusak sistem yang bisa
dilakukan oleh siapa saja karena suatu kepentingan atau tujuan. Korupsi berasal
dari dua kata “com” dan “rumpere” yang berarti tindakan buruk secara kolektif.
Pandangan secara umum, korupsi merupakan manipulasi uang Negara oleh pejabat
pemerintah. Beberapa bentuk korupsi diantaranya, Manipulasi, Suap / penyogokan,
Penyalahgunaan kekuasaan, Nepotisme, dan lain-lain.
Bentuk atau praktik korupsi kini marak terjadi di Indonesia,
tidak hanya terjadi pada bidang politik saja, melainkan kini sudah menyebar ke
dunia usaha. Dan praktik korupsi yang paling sering dilakukan di Indonesia,
yaitu suap atau biasa dikenal penyogokan. Suap di Indonesia sudah semakin marak
dilakukan, bahkan semakin menjadi. Sogokan atau suap tidak hanya terjadi pada
instansi pemerintah dan pelaku bisnis saja, tetapi juga dalam hubungan antara
pelaku bisnis maupun dalam kehidupan sehari – hari.
Berdasarkan uraian diatas penulis bermaksud untuk memberi
judul penulisan ini “Moralitas Koruptor”
yang akan membahas faktor terjadinya praktik korupsi, apa yang membuat
korupsi ini sulit diberantas, dan dampaknya bagi kegiatan bisnis.
1.2
Rumusan Masalah
Bagaimana
korupsi bisa terjadi, mengapa sulit diberantas dan apa dampaknya bagi kegiatan
bisnis, dan siapa yang harus bertanggung jawab?
1.3
Batasan Masalah
Untuk
mencegah pemahaman yang terlalu rumit, penulis membatasi permasalahan hanya
pada moralitas koruptor.
1.4
Tujuan Penelitian
Untuk
mengetahui bagaimana korupsi bisa terjadi, mengapa sulit diberantas dan apa
dampaknya bagi kegiatan bisnis, dan siapa yang harus bertanggung jawab.
LANDASAN
TEORI
2.1 Definisi Moralitas
Moralitas
berasal dari kata dasar “moral” berasal dari kata “mos” yang berarti kebiasaan.
Kata “mores” yang berarti kesusilaan, dari “mos”, “mores”. Moral adalah ajaran
tentang baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban dan
lain-lain, akhlak budi pekerti, dan susila. Kondisi mental yang membuat orang
tetap berani, bersemangat, bergairah, berdisiplin dan sebagainya.
Moral
secara etimologi diartikan: a) Keseluruhan kaidah-kaidah kesusilaan dan
kebiasaan yang berlaku pada kelompok tertentu, b) Ajaran kesusilaan, dengan
kata lain ajaran tentang azas dan kaidah kesusilaan yang dipelajari secara
sistematika dalam etika. Dalam bahasa Yunani disebut “etos” menjadi istilah
yang berarti norma, aturan-aturan yang menyangkut persoalan baik dan buruk
dalam hubungannya dengan tindakan manusia itu sendiri, unsur kepribadian dan
motif, maksud dan watak manusia. kemudian “etika” yang berarti kesusilaan yang
memantulkan bagaimana sebenarnya tindakan hidup dalam masyarakat, apa yang baik
dan yang buruk.
Moralitas
yang secara leksikal dapat dipahami sebagai suatu tata aturan yang mengatur
pengertian baik atau buruk perbuatan kemanusiaan, yang mana manusia dapat
membedakan baik dan buruknya yang boleh dilakukan dan larangan sekalipun dapat
mewujudkannya, atau suatu azas dan kaidah kesusilaan dalam hidup bermasyarakat.
Secara terminologi moralitas diartikan oleh berbagai tokoh dan aliran-aliran
yang memiliki sudut pandang yang berbeda:
Franz
Magnis Suseno menguraikan moralitas adalah keseluruhan norma-norma, nilai-nilai
dan sikap seseorang atau sebuah masyarakat. Menurutnya, moralitas adalah sikap
hati yang terungkap dalam perbuatan lahiriah (mengingat bahwa tindakan
merupakan ungkapan sepenuhnya dari hati), moralitas terdapat apabila orang
mengambil sikap yang baik karena Ia sadar akan kewajiban dan tanggung jawabnya
dan bukan ia mencari keuntungan. Moralitas sebagai sikap dan perbuatan baik
yang betul-betul tanpa pamrih.
W.
Poespoprodjo, moralitas adalah kualitas dalam perbuatan manusia yang dengan itu
kita berkata bahwa perbuatan itu benar atau salah, baik atau buruk atau dengan
kata lain moralitas mencakup pengertian tentang baik buruknya perbuatan
manusia.
Immanuel
Kant, mengatakan bahwa moralitas itu menyangkut hal baik dan buruk, yang dalam
bahasa Kant, apa yang baik pada diri sendiri, yang baik pada tiap pembatasan
sama sekali. Kebaikan moral adalah yang baik dari segala segi, tanpa
pembatasan, jadi yang baik bukan hanya dari beberapa segi, melainkan baik
begitu saja atau baik secara mutlak.
Emile Durkheim mengatakan,
moralitas adalah suatu sistem kaidah atau norma mengenai kaidah yang menentukan
tingka laku kita. Kaidah-kaidah tersebut menyatakan bagaimana kita harus
bertindak pada situasi tertentu. Dan bertindak secara tepat tidak lain adalah
taat secara tepat terhadap kaidah yang telah ditetapkan.
Dari
pengertian tersebut, disimpulkan bahwa moralitas adalah suatu
ketentuan-ketentuan kesusilaan yang mengikat perilaku sosial manusia untuk
terwujudnya dinamisasi kehidupan di dunia, kaidah (norma-norma) itu ditetapkan
berdasarkan konsensus kolektif, yang pada dasarnya moral diterangkan
berdasarkan akal sehat yang objektif.
2.2 Definisi Korupsi
Korupsi atau rasuah bahasa latin: corruptio
dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) adalah tindakan
pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang
secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada
mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak.
Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis
besar memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
- perbuatan melawan hukum,
- penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana,
- memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, dan
- merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Jenis tindak pidana korupsi di antaranya, namun bukan
semuanya, adalah :
- memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan),
- penggelapan dalam jabatan,
- pemerasan dalam jabatan,
- ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara), dan
- menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).
Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah
penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintahan
rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang
paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan
menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan
sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harfiahnya pemerintahan oleh para pencuri,
dimana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.
Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa
berbentuk ringan atau berat, terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering
memudahkan kegiatan kriminal seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan
prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk
mempelajari masalah ini dan membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan
antara korupsi dan kejahatan. Tergantung dari negaranya atau
wilayah hukumnya, ada perbedaan antara yang dianggap korupsi atau tidak.
Sebagai contoh, pendanaan partai politik ada yang legal di satu tempat namun ada juga yang tidak
legal di tempat lain.
Dampak Negatif Tindak Korupsi
Demokrasi
Korupsi
menunjukan tantangan serius terhadap pembangunan. Di dalam dunia politik,
korupsi mempersulit demokrasi
dan tata pemerintahan yang baik (good governance) dengan cara
menghancurkan proses formal. Korupsi di pemilihan umum dan di badan legislatif
mengurangi akuntabilitas dan perwakilan di pembentukan kebijaksanaan; korupsi
di sistem pengadilan menghentikan ketertiban hukum; dan korupsi di pemerintahan
publik menghasilkan ketidak-seimbangan dalam pelayanan masyarakat. Secara umum,
korupsi mengkikis kemampuan institusi dari pemerintah, karena pengabaian
prosedur, penyedotan sumber daya, dan pejabat diangkat atau dinaikan jabatan
bukan karena prestasi. Pada saat yang bersamaan, korupsi mempersulit legitimasi
pemerintahan dan nilai demokrasi seperti kepercayaan dan toleransi.
Ekonomi
Korupsi juga
mempersulit pembangunan ekonomi dan mengurangi kualitas pelayanan
pemerintahan. Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi dan
ketidak efisienan yang tinggi. Dalam sektor private, korupsi meningkatkan
ongkos niaga karena kerugian dari pembayaran ilegal,
ongkos manajemen dalam negosiasi dengan pejabat korup, dan risiko pembatalan
perjanjian atau karena penyelidikan. Walaupun ada yang menyatakan bahwa korupsi
mengurangi ongkos (niaga) dengan mempermudah birokrasi, konsensus yang baru
muncul berkesimpulan bahwa ketersediaan sogokan menyebabkan pejabat untuk
membuat aturan-aturan baru dan hambatan baru. Dimana korupsi menyebabkan
inflasi ongkos niaga, korupsi juga mengacaukan "lapangan perniagaan".
Perusahaan yang memiliki koneksi dilindungi dari persaingan dan sebagai
hasilnya mempertahankan perusahaan-perusahaan yang tidak efisien.
Korupsi
menimbulkan distorsi (kekacauan) di dalam sektor publik dengan mengalihkan investasi publik
ke proyek-proyek masyarakat yang mana sogokan dan upah tersedia lebih banyak.
Pejabat mungkin menambah kompleksitas proyek masyarakat untuk menyembunyikan
praktek korupsi, yang akhirnya menghasilkan lebih banyak kekacauan. Korupsi
juga mengurangi pemenuhan syarat-syarat keamanan bangunan, lingkungan hidup,
atau aturan-aturan lain. Korupsi juga mengurangi kualitas pelayanan
pemerintahan dan infrastruktur; dan menambahkan tekanan-tekanan terhadap
anggaran pemerintah.
Kesejahteraan umum negara
Korupsi politis
ada di banyak negara, dan memberikan ancaman besar bagi warga negaranya.
Korupsi politis berarti kebijaksanaan pemerintah sering menguntungkan pemberi sogok,
bukannya rakyat luas. Satu contoh lagi adalah bagaimana politikus membuat peraturan yang melindungi
perusahaan besar, namun merugikan perusahaan-perusahaan kecil (SME).
Politikus-politikus "pro-bisnis" ini hanya mengembalikan pertolongan
kepada perusahaan besar yang memberikan sumbangan besar kepada kampanye pemilu
mereka.
Contoh Kasus Korupsi :
·
Gayus Tambunan adalah mantan pegawai
negeri sipil di Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Indonesia.
Namanya menjadi terkenal ketika Komjen Susno Duadji menyebutkan bahwa Gayus
mempunyai uang Rp 25 miliar di rekeningnya plus uang asing senilai 60 miliar
dan perhiasan senilai 14 miliar di brankas bank atas nama istrinya dan itu
semua dicurigai sebagai harta haram. Dalam perkembangan selanjutnya Gayus
sempat melarikan diri ke Singapura beserta anak istrinya sebelum dijemput
kembali oleh Satgas Mafia Hukum di Singapura. Kasus Gayus mencoreng reformasi
Kementerian Keuangan Republik Indonesia yang sudah digulirkan Sri Mulyani dan
menghancurkan citra aparat perpajakan Indonesia.
2.3 Etika
Bisnis dan Korupsi
Pelanggaran etika bisa terjadi
di mana saja dan terjadi kapan saja, termasuk dalam dunia bisnis. Praktik
korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) tumbuh subur dan terjadi di banyak
perusahaan baik perusahaan asing ataupun dalam negeri sendiri, baik perusahaan
besar maupun kecil korupsi bisa terjadi. Setiap perusahaan harus memiliki
nilai-nilai perusahaan (corporate values) yang menggambarkan sikap moral dan
kepribadian perusahaan dalam pelaksanaan usahanya. Dunia usaha berperan
menerapkan GCG dengan antara lain menerapkan etika bisnis secara konsisten
sehingga dapat terwujud iklim usaha yang sehat, efisien, dan transparan. bagi
yang melanggar bisa kena hukuman sesuai dengan undang – undang yang berlaku.
Perilaku korup di tempat kerja tercipta dari
kebiasaan ataupun kesenangan untuk mengambil yang bukan haknya dengan cara
mencurangi perusahaan. Bagi oknum-oknum bermental korup melakukan korupsi sudah
seperti hobi, sehingga sebaik apapun tata kelola dan sistem yang dibangun,
mereka tetap akan menjadi lebih kreatif untuk bisa korupsi.
Pada umumnya, para pengusaha jujur selalu berupaya
untuk menghilangkan korupsi dari DNA perusahaannya, tetapi mental-mental korup
selalu cerdas bersembunyi di balik baju integritas, sehingga menjadi tidak
mudah untuk diidentifikasi oleh sistem dan tata kelola.
Indeks Persepsi Korupsi 2009 yang diterbitkan oleh
Transparency International (secara global) menunjukkan bahwa rata-rata, dua dari
tiga perusahaan melaporkan kasus korupsi diinternalnya. Korupsi adalah bukti
bahwa oknum-oknum bermental korup memiliki hobi untuk menyalahgunakan
kepercayaan, kekuasaan, jabatan, dan tanggung jawab. Mereka yang suka korup ini
biasanya tertawa dengan standar moralitas dan integritas yang dikembangkan oleh
perusahaan. Karena dasarnya mereka ini adalah energi korup yang cerdas dan
terlatih mindsetnya, sehingga persepsi dan logika berpikir mereka memandang
korupsi sebagai sesuatu yang baik.
Perusahaan-perusahaan yang sadar akan bahaya korupsi
terhadap keberlangsungan bisnisnya, pastilah secara terus-menerus melatih dan
memberikan pencerahan kepada setiap insan perusahaan agar korupsi bisa
diminimalkan. Salah satu upaya yang biasa dilakukan adalah dengan mengembangkan
perilaku kerja yang taat etika bisnis dan kode etik kerja. Untuk itu,
perusahaan akan membangun sistem pengawasan yang penuh integritas; serta
melakukan proses internalisasi, indoktrinasi, ataupun motivasi secara
terus-menerus, dengan harapan setiap insan perusahaan terpengaruh untuk patuh
etika bisnis dan menguatkan integritas pribadi.
METODOLOGI
PENELITIAN
3.1
Metode Pengumpulan Data
Studi
Pustaka
Data
dalam penulisan ini mengunakan data sekunder. Dimana pengertian Data Sekunder
adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan peneliti dari berbagai sumber yang
telah ada sehingga peneliti tidak perlu mengolah datanya (peneliti sebagai
tangan kedua).
Mencari
data-data yang diperlukan dengan metode searching menggunakan internet, yaitu
dengan membaca referensi – referensi yang berkaitan
dengan masalah yang dibahas oleh penulis. Mempelajari buku-buku
yang berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas, yakni teori moralitas
dan korupsi.
BAB
IV
PEMBAHASAN
4.1
Mengapa korupsi bisa terjadi ?
Kini
tindak korupsi semakin marak terjadi diberbagai bidang, lalu apa yang menjadi
faktor terjadinya tindak korupsi ?
Berikut
ini merupakan faktor-faktor penyebab korupsi yang biasanya terjadi :
1. Penegakan
hukum tidak konsisten : penegakan hukum hanya sebagai meke-up politik, bersifat
sementara dan sellalu berubah tiap pergantian pemerintahan.
2. Penyalahgunaan
kekuasaan dan wewenang karena takut dianggap bodoh bila tidak menggunakan
kesempatan.
3. Langkanya
lingkungan yang antikorup : sistem dan pedoman antikorupsi hanya dilakukan
sebatas formalitas.
4. Rendahnya
pendapatan penyelenggaraan negara : Pedapatan yang diperoleh harus mampu
memenuhi kebutuhan penyelenggara negara, mampu mendorong penyelenggara negara
untuk berprestasi dan memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat.
5. Kemiskinan,
keserakahan : masyarakat kurang mampu melakukan korupsi karena kesulitan
ekonomi. Sedangkan mereka yang berkecukupan melakukan korupsi karena serakah,
tidak pernah puas dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan.
6. Budaya
memberi upeti, imbalan jasa dan hadiah.
7. Konsekuensi
bila ditangkap lebih rendah daripada keuntungan korupsi : saat tertangkap bisa
menyuap penegak hukum sehingga dibebaskan atau setidaknya diringankan
hukumannya. Rumus: Keuntungan korupsi > kerugian bila tertangkap
8. Gagalnya
pendidikan agama dan etika : ada benarnya pendapat Franz Magnis
Suseno bahwa agama telah gagal menjadi pembendung moral bangsa dalam
mencegah korupsi karena perilaku masyarakat yang memeluk agama itu sendiri.
Pemeluk agama menganggap agama hanya berkutat pada masalah bagaimana cara
beribadah saja. Sehingga agama nyaris tidak berfungsi dalam memainkan
peran sosial. Menurut Franz, sebenarnya agama bisa memainkan peran yang besar
dibandingkan insttusi lainnya. Karena adanya ikatan emosional antara agama dan
pemeluk agama tersebut jadi agama bisa menyadarkan umatnya bahwa korupsi dapat
memberikan dampak yang sangat buruk baik bagi dirinya maupun orang lain.
(indopos.co.id, 27 Sept 2005)
Selain faktor-faktor diatas, ada beberapa
faktor lain yang menjadi alasan dari tindak korupsi, yaitu:
1. Faktor kebutuhan
Merupakan faktor yang dapat
mendorong seseorang melakukan korupsi karena keinginan untuk memiliki sesuatu
namun pendapatannya tidak memungkinkan untuk mendapatkan apa yang
diinginkannya.
2. Faktor tekanan
Merupakan faktor yang biasanya
dilakukan karena permintaan dari seseorang, kerabat atau bahkan atasan sendiri
yang tidak bisa dihindari.
Faktor kesempatan
Merupakan faktor yang biasanya
dilakukan oleh atasan atau pemegang kekuasaan dengan memanfaatkan jabatan dan
kewenangan yang dimiliki untuk memperkaya dirinya, walaupun dengan cara yang
salah dan melanggar undang – undang.
Faktor rasionalisasi
3. Merupakan faktor yang biasanya
dilakukan oleh pejabat tinggi seperti bupati / walikota, ditingkat kabupaten /
kota atau gubernur ditingkat provinsi dengan menganggap bahwa wajar bila
memiliki rumah mewah, mobil mewah dan lain sebagainya karena ia seorang pejabat
pemerintahan.
Untuk menangani hal di atas, diperlukan dukungan dan tindak
yang tegas baik dari pemerintah sendiri maupun dari masyarakat sekitar. Adanya
sanksi hukum yang jelas, terbuka, transparan dengan kedudukan yang sama untuk
setiap orang, baik pejabat atau masyarakat.
4.2
Mengapa tindak korupsi sulit diberantas ?
Meskipun tindak korupsi adalah tindakan yang
melanggar hukum, mengapa masih banyak yang melakukan tindak korupsi ? karena
banyak kondisi yang mendukung terjadinya korupsi.
Berikut ini adalah kondisi yang mendukung terjadinya
korupsi :
·
Konsentrasi kekuasaan di pengambil
keputusan yang tidak bertanggung jawab langsung kepada rakyat, seperti yang
sering terlihat di rezim-rezim yang bukan demokratik.Kurangnya transparansi
di pengambilan keputusan pemerintah
·
Kampanye-kampanye politik yang mahal,
dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan politik yang normal.
·
Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam
jumlah besar sehingga pelaku tergiur untuk menguasai uang tersebut.
·
Lingkungan tertutup yang mementingkan
diri sendiri dan jaringan "teman dekat".
·
Lemahnya ketertiban
hukum, yakni hukuman yang diberikan tidak sebanding
dengan tindak korupsi sehingga pelaku tidak jera.
·
Lemahnya profesi
hukum. Terkadang penegak hukum pun mudah untuk disuap
sehingga pelaku dengan mudah bekerjasama dengan penegak hukum untuk
penyelesaian kasusnya.
· Gaji pegawai pemerintah yang dianggap sangat kecil.
· Semakin langkanya kejujuran di dalam pemerintahan
4.3
Bagaimana dampaknya bagi kegiatan bisnis ?
Dampak
korupsi terhadap bisnis dan perekonomian di Indonesia sangat berpengaruh,
secara tidak langsung akan meningkatkan angka kemiskinan dan dapat menyebabkan
ketidakmerataan pembangunan ekonomi di Indonesia. Di samping itu, juga
menciptakan perilaku buruk yang dapat mendorong timbulnya persaingan usaha yang
tidak sehat karena dipengaruhi oleh suap, bukan karena kualitas dan manfaat.
Bagi
perusahaan swasta, korupsi berdampak pada ketidakadilan, ketidakseimbangan dan
persaingan tidak sehat sehingga masyarakatlah yang akan dirugikan, seperti
tingginya harga pasaran suatu produk (barang / jasa). Selain itu, pengaruh
korupsi juga terlihat dari kurangnya inovasi atau rasa kreatif dari masing –
masing karyawan dalam persaingan memajukan perusahaannya. Hal ini diakibatkan
karena perusahaan – perusahaan yang bergantung hasil korupsi tidak akan
menggunakan sumber daya yang ada pada perusahaannya. Ketika hal ini
dipertahankan, bagi sebagian perusahaan yang jujur dan masyarakat akan
dirugikan, maka cepat atau lambat akan semakin memperburuk perekonomian di
Indonesia serta dapat membentuk kepribadian masyarakat yang tamak, serakah akan
harta dan mementingkan diri sendiri.
4.4
Siapa yang harus bertanggung jawab ?
Pertanyaan
di atas sangat sederhana. Namun, jawabannya tidak akan pernah sederhana, bahkan
bisa dikatakan rumit, kecuali jika direkayasa sebagai pembenaran belaka (justification).
Contoh sederhana adalah apa yang terbentang luas di hadapan negeri ini. Banyak
lembaga pengawasan, dan pemberantasan korupsi sekarang ini seperti KPK.
Anehnya, perbandingan antara koruptor yang ditangkap dan jumlah korupsi yang
ditengarai tidaklah sepadan sama sekali. Ibarat membandingkan semut dengan
gajah. Padahal KPK itu dinyatakan berfungsi dengan baik apabila koruptor yang
ditangkap itu makin lama makin sedikit, artinya tindak korupsi yang terjadi di
negara ini semakin berkurang.
Sejak
awal keberadaannya, sesuai Keppres 31 Tahun 1983, BPKP telah memangku tugas
pokok: mempersiapkan perumusan kebijaksanaan pengawasan keuangan dan pengawasan
pembangunan, menyelenggarakan pengawasan umum dalam penggunaan dan pengurusan
keuangan, menyelenggarakan pengawasan pembangunan. Pelaksanaan tugas pokok
tersebut terjabarkan dalam 16 (enambelas) fungsi, yang salah satunya adalah:
“melaksanakan pengawasan khusus terhadap kasus-kasus tidak lancarnya
pelaksanaan pembangunan dan kasus-kasus yang diperkirakan mengandung unsur
penyimpangan yang merugikan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan Usaha
Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah.” Ke-15 (limabelas) fungsi lainnya
adalah dalam rangka pengawasan dalam perbaikan manajemen. Untuk melaksanakan
pemeriksaan khusus, BPKP memperoleh masukan sebagai dasar pendalaman dari
pengaduan masyarakat dan pengembangan dari hasil pemeriksaan. Tugas yang harus
dilaksanakan adalah mengungkapkan:
a) keterjadian
penyimpangan;
b) adanya
bukti kerugian keuangan Pemerintah;
c) adanya
bukti orang atau badan yang melakukan penyimpangan;
d) adanya
bukti orang atau badan yang menikmati hasil penyimpangan.
Jika
ditemukan bukti-bukti tersebut, maka kasusnya akan diteruskan ke aparat penegak
hukum, yaitu Kejaksaan Agung untuk diproses sesuai hukum yang berlaku.
Penyelesaian kasus tersebut sangat tergantung dari proses hukum, mulai dari
penyelidikan hingga pemeriksaan di pengadilan.
Selama
ini, banyak yang mengamati bahwa proses pemeriksaan di pengadilan seringkali
cenderung melemahkan temuan pemeriksaan, sehingga apa yang telah dihasilkan
oleh BPKP tidak terungkap atau tidak terbukti di pengadilan.
Lantas,
siapa yang harus bertanggungjawab memberantas korupsi?
Sebagai
contoh:
Seseorang
menerima sejumlah pembayaran dari petugas perusahaan atau instansi dengan
menandatangani kwitansi yang nilainya lebih besar dari jumlah yang diterima.
Pada kasus demikian, orang yang bersangkutan merasa tidak bersalah, dengan
berfikir bahwa kwitansi tersebut tidak berhubungan dengan kewajibannya, di mana
yang penting uang diterima sesuai permintaan, meskipun berakibat bahwa
perusahaan atau instansi harus mengeluarkan uang lebih besar dari yang
seharusnya. Kelebihan pembayaran adalah menjadi hak petugas yang bersangkutan.
Kasus di atas memenuhi unsur tindak pidana korupsi, karena: Pertama; yang
menandatangani kwitansi telah melakukan penyimpangan dengan memberik keterangan
palsu atau tidak benar; Kedua; menguntungkan petugas perusahaan; Ketiga; dapat
merugikan keuangan negara atau perusahaan, Keempat; dilakukan oleh yang
menandatangani kwitansi. Apabila seseorang membeli mobil atau motor bekas
dengan tidak mengisi tanggal pembayaran. Dengan tidak mengisi tanggal
pembayaran, maka pembeli mobil atau motor tidak harus membayar bea balik nama
dengan segera. Padahal, sesuai ketentuan, paling lambat dalam waktu 3 (tiga)
bulan setelah perpindahan kepemilikan, pemilik baru harus melaporkan
perpindahan kepemilikan tersebut dan membayar bea balik nama. Tindakan tidak
memberi tanggal pada kwitansi bagi yang menjual bukan menjadi sesuatu masalah,
karena yang penting uang sudah diterima. Tapi bagi pembeli, tidak diberi
tanggal kwitansi berarti tidak akan segera balik nama, berarti tidak perlu
segera membayar bea balik nama.
Kasus
di atas mengandung unsur tindak pidana korupsi, karena: Pertama; dilakukan oleh
yang menandatangani kwitansi; Kedua; tidak memberi tanggal berarti memberi
keterangan palsu, Ketiga; merugikan keuangan negara/daerah, karena tidak segera
membayar bea balik nama, Keempat; menguntungkan pihak pembeli. Jika seseorang
menandatangani kwitansi pembelian tanah dengan nilai lebih rendah dari jumlah
yang diterima. Dengan kwitansi yang lebih rendah berarti baik pembeli maupun
penjual akan membayar pajak terkait lebih rendah dari yang seharusnya. Tindakan
ini memenuhi unsur tindak pidana korupsi, karena:
·
Yang melakukan adalah yang
menandatangani kwitansi
·
Menguntungkan pihak penjual dan pembeli
karena membayar pajak lebih kecil
·
Merugikan keuangan negara karena pajak
yang diterima negara lebih kecil
·
Melakukan penyimpangan karena
menandatangani tidak sesuai dengan jumlah yang diterima
Memang,
tindakan-tindakan sebagaimana dicontohkan di atas terasa kental keberadaannya,
meskipun seringkali sulit menemukan pembuktian keterjadiannya. Misalnya, bukti
surat sebagaimana diatur dalam KUHAP adalah kwitansi yang ditandatangani.
Namun, kalau masyarakat tidak mengakui bahwa kwitansi yang telah ditandatangani
adalah salah, maka bagaimana mungkin pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan.
Oleh karena itu, pertanyaan sederhana yang harus diulang adalah siapakah yang
harus bertanggungjawab terhadap korupsi, apakah:
·
Orang yang menandatangani kwitansi?
·
Orang yang membayarkan uangnya?
·
Orang yang mengetahui tetapi tidak
melapor?
·
Aparat pengawasan yang tidak mampu
mendeteksi adanya penyimpangan tersebut?
Dalam
praktik pemeriksaan, seringkali ditemukan penyimpangan, tetapi kebanyakan
berbenturan dengan kenyataan bahwa kesimpulan hasil pemeriksaan harus
berhadapan dengan bukti yang diperlukan, sementara bukti yang dimiliki telah
memenuhi unsur bukti, dan hasil konfirmasi dari yang menerbitkan bukti adalah
benar, dan hasil analisis bukan merupakan bukti, maka apa yang anggapan
pemeriksa bahwa telah terjadi penyimpangan seringkali menjadi tidak mampu
diungkapkan.
Masalah-masalah
kecil tapi mendasar sebagaimana diungkapkan di atas adalah salah satu alasan
mengapa pemeriksaan seringkali gagal mengungkap tindak pidana korupsi.
Kegagalan dimaksud juga bukan lantaran semata ketidaksungguhan aparat,
melainkan karena adanya kecenderungan masyarakat umum secara tidak sadar dan
sadar tidak mendukung secara riil upaya menghilangkan korupsi dari negara
tercinta ini. Jika budaya tertib masyarakat telah tercipta, bisalah diharapkan
efektivitas pemberantasan korupsi. Dengan demikian, diperlukan keikutsertaan
seluruh komponen bangsa, untuk memulai dari yang kecil-kecil, sehingga tercipta
sebuah iklim kondusif untuk mengenyahkan tindak pidana korupsi yang
besar-besar, yang seringkali tidak terjamah oleh kepastian hukum.
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan
pembahasan diatas, moralitas memang sangat dibutuhkan bagi manusia untuk
menjalankan kehidupan sehari-hari. Moralitas dapat menjadi tolak ukur bagi
manusia untuk membedakan mana perbuatan yang baik dan mana yang buruk. Serta
dapat membatasi tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari. Banyak sekali
faktor yang dapat menjadi penyebab terjadinya korupsi, diantaranya adalah tidak
ditanamnya sifat kejujuran dan transparasi dalam diri seseorang, kesempatan
yang terbuka lebar untuk melakukan korupsi, serta kekuatan hukum yang lemah untuk
para koruptor sehingga tidak memberi efek jera, dan mungkin itu salah satu juga
yang menjadi surga bagi para koruptor untuk melakukan kegiatan korupsinya.
5.2 Saran
·
Tanamkanlah sikap disiplin, jujur dan
terbuka serta menerapkan perintah agama yang baik sejak dini dalam kehidupan
sehari-hari, itu merupakan modal awal manusia untuk bisa mencegah segala
perbuatan korupsi yang sifatnya bisa merugikan berbagai pihak.
·
Serta menguatkan kekuatan hukum di
negara ini untuk pelaku korupsi, seperti hukuman mati. Karena hukuman penjara
bagi mereka, itu merupakan hukuman yang tidak berat dan tidak membuat efek
jera, apalagi ditambah dengan aparat hukum yang mudah disuap sehingga hukuman
pun menjadi sangat ringan. Tidak heran kini banyak yang tertarik untuk melakukan
tindak korupsi tersebut. Jadi, korupsi tidak akan pernah punah jika memang
tidak ada kesadaran dari diri masing-masing. Untuk itu, jika ingin mencoba
melawan korupsi, cobalah dari diri kita sendiri, jangan hanya bisa melakukan
pencitraan, yaitu berbicara melawan korupsi, tetap dibelakangnya dia melakukan
itu.
Daftar Pustaka
Axel Dreher, Christos
Kotsogiannis, Steve McCorriston (2004), Corruption Around the World:
Evidence from a Structural Model.
Suyitno,2006. Korupsi,
Hukum dan Moralitas Agama. Palembang : Gama Media
http://softskilletikabisnis.blogspot.com/2011/11/korupsi.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar